IMAMAH menurut AL-QURAN – kajian syiah

IMAMAH menurut AL-QURAN

Artikel ini menyelidiki penggunaan perkataan “Imam” di dalam al-Qur’an untuk melihat apakah al-Qur’an menyediakan dukungan yang cukup pada konsep Imamah Syi’ah Duabelas Imam (SDI).

Uraian ini pertama kali memberikan penjelasan mengenai Imamah sebagaimana yang dipahami oleh SDI, dan kemudian diikuti dengan suatu penelitian dengan cermat dan terperinci dari setiap tempat di dalam al-Qur’an di mana perkataan “Imam” atau bentuk jamaknya “A’immah” telah digunakan oleh Allah Ta‘ala.

Tidak ada yang menyangkal bahwa dari semua perbedaan yang ada antara Ahl as-Sunnah dan Syi’ah, isu Imamah adalah betul-betul yang paling serius. Hal ini pada kenyataannya cukup rasional dan logis untuk mengatakan bahwa mempertanyakan Imamah adalah akar dari semua perbedaan Sunni-Syi’ah; semua perbedaan lainnya akan dapat ditemukan sebagai akibat dari perbedaan yang ada pada titik pusat ini.

Oleh karena itu, tidak ada seseorang atau organisasi yang berusaha secara sungguh-sungguh untuk mendekatkan Syi’ah dan Sunni dengan mengabaikan doktrin Imamah. Semua usaha yang diarahkan untuk memindahkan penghalang yang memisahkan antara Ahl as-Sunnah dari Syi’ah harus dimulai dari titik ini. Memulai dari mengkaji perbedaan yang lainnya akan sama dengan mengobati gejala suatu penyakit, dan bukan penyebabnya. Untuk sementara mungkin gejalanya dapat menghilang, namun akan aktif lagi pada kesempatan berikutnya oleh penyebab latent tersebut.

Demikian juga, mencoba untuk memecahkan perbedaan Sunni-Syi’ah dari perspektif apapun selain dari akarnya, yaitu Imamah, hanyalah menciptakan kesan menghilangkan rintangan persatuan Muslimin secara sementara. Pada kenyataannya rintangan yang sesungguhnya tersebut akan kembali, segera setelah kegembiraan sementara terhadap terciptanya persatuan tersebut.

Sebagai muslim, kita berkewajiban untuk mengembalikan perbedaan yang ada di antara kita dengan merujuk kepada Allah dan RasulNya. Dalam rangkaian artikel ini kita membahas doktrin Imamah pada al-Qur’an, dengan tujuan untuk memastikan apakah doktrin ini – sebagaimana yang dipahami dan yang dipercayai oleh SDI – dibenarkan oleh wahyu atau tidak.

Doktrin Imamah SDI

Sebelum masuk lebih jauh, akan lebih baik demi kepentingan mereka yang mungkin tidak sadar atau belum paham tentang apa yang dimaksud dengan Imamah versi SDI, akan diuraian sedikit lebih detil tentang isu tersebut. Sekali pembaca fokus pada apa makna Imamah bagi seorang SDI, dan posisi Imamah pada struktur kepercayaan SDI, kita akan melanjutkan diskusi kita menyangkut doktrin tersebut ditinjau dari sudut al-Qur’an.

Esensi utama Imamah adalah mengenai kepemimpinan Ummah setelah meninggalnya Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. SDI percaya bahwa sebagaimana halnya Allah telah memilih Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam sebagai RasulNya bagi umat manusia, ia juga memilih dan menetapkan sebaris 12 (duabelas) orang pengganti Beliau sebagai para pemimpin Ummah dalam semua hal, baik secara rohani maupun duniawi. Yang pertama dari para pemimpin ini, atau Imam sebagaimana mereka menyebutnya, adalah ‘Ali ibn Abi Talib radiyallahu ‘anhu. Ia digantikan oleh anak sulungnya Hasan, yang kemudian ia digantikan oleh saudaranya Husayn. Setelah Husayn, Imamah dilanjutkan oleh keturunannya sampai tahun 260 AH, ketika Imam yang ke-12, yaitu seorang anak berumur lima tahun, menghilang pada saat bapaknya meninggal (Note: tentu saja dengan mengabaikan keturunan Hasan). Ia dipercaya sebagai Mahdi yang ditunggu yang akan kembali dari keghoiban untuk menegakkan keadilan di atas bumi. Keduabelas belas orang dari keluarga Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam sendiri mempunyai hak kepemimpinan Ummah.

Ada dua aspek Imamah yang perlu dilihat dengan penuh perhatian. Yang pertama adalah sifat dasar penunjukan Imam, dan yang kedua adalah sifat dasar jabatan mereka.

Sifat dasar penunjukan Duabelas Imam

Sifat dasar penunjukan mereka ini merupakan suatu konsensus di antara SDI bahwa hak keduabelas Imam mereka untuk memimpin Ummah adalah dianugerahkan oleh Allah Ta‘ala sendiri. Tidak ada perbedaan yang terjadi antara penunjukan Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam sebagai Pesuruh Allah dan penunjukan keduabelas Imam sebagai para penggantinya. Menggarisbawahi hal penting dari aspek Imamah ini, ‘Allamah Muhammad Husayn Kashif al-Ghita, seorang ulama salaf Syi’ah yang paling terkemuka di Najaf Iraq selama tujuhpuluh, menulis di dalam bukunya Asl ash-Syi’ah wa-Usuluha:

Imamah adalah suatu posisi Ilahiah, seperti halnya Nubuwwah. Sama halnya Allah memilih siapa saja yang Ia kehendaki untuk Nubuwwah dan Risalah… yang dengan cara yang sama, untuk Imamah juga, Ia memilih siapa saja yang Ia kehendaki. (1)

Adalah menarik untuk dicatat bahwa buku yang darinya statemen ini diambil, ditulis dengan tujuan untuk mengoreksi kesalahan pemahaman tentang Syi’ah pada zamannya. Karena Imamah dalam semua tujuan secara praktis sama persis sebagaimana Nubuwwah dan Risalah, maka secara konsisten akan dinyatakan bahwapenolakan terhadap Imamah akan dicela sama parahnya dengan penolakan terhadap Nubuwwah dan Risalah. Jika penolakan terhadap Nubuwwah Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam menjadikan seseorang mirip dengan Abu Jahl dan Abu Lahab yang di luar kelompok Islam, maka sangatlah logis bahwa penolakan terhadap Imamah Ali ibn Abi Talib radiyallahu ‘anhu sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr, ‘Umar dan Sahabah radiyallahu ‘anhum lainnya akan dianggap keluar dari kelompok Islam. Karena itu orang yang memandang masalah dari perspektif ini, dengan begitu tidak akan terkejut ketika menemukan Syi’ah yang menceriterakan dari Imam mereka bahwa “semua orang menjadi murtad setelah meninggalnya Rasulullah, kecuali 3” (2) karena konsisten dengan prinsip yang menyamakan Imamah dengan Nubuwwah dalam pengertian bahwa masing-masing mereka adalah merupakan posisi yang ditugaskan oleh Allah.

Apa yang mengejutkan adalah pendapat SDI hari iniyang menyatakan tentang Ahl as-Sunnah secara umum. Orang akan berharap kepada mereka untuk mengatakan tentang Ahl as-Sunnah sebagaimana mereka sudah berkata tentang Sahabah: bahwa mereka adalah tidak beriman, keluar dari kelompok Islam. Betapapun, ada banyak orang non-Muslim yang percaya pada keesaan Allah, tetapi tidak percaya pada kenabian Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam, dan untuk alasan itu kita semua -menurut mereka- sebagai orang yang tidak beriman. Jika Imamah kemudian adalah suatu “posisi Ilahiah, sebagaimana Nubuwwah,” maka siapapun Sunni yang tidak percaya pada Imamah dari Duabelas Imam, harus pula sebagai orang yang tidak beriman. Terdapat banyak ‘ulama salaf SDI yang sudah memperlihatkan konsistensi mereka mengenai hal ini dan mengumumkan bahwa mereka yang menyangkal Imamah dari Duabelas Imam – seperti Ahl as-Sunnah – merupakan orang yang tidak beriman. Sebagai contoh,Ibn Babawayh al-Qummi  (meninggal 381AH), pengarang salah satu dari empat koleksi hadith Syi’ah, Man La Yahduruhu al-Faqih, menyatakan di dalam risalah tersebut di mana ia menguraikan secara terperinci keyakinan SDI:

Kepercayaan kami mengenai orang yang menolak Imamah Amir Al-Mu’minin Sayyiduna ‘Ali dan Imam setelah dia, bahwa ia adalah sama sebagaimana orang yang menolak Nubuwwah  para Nabi.

Kepercayaan kami mengenai seseorang yang menerima Imamah Amir Al-Mu’minin tetapi menolak setiap Imam setelah dia, ia adalah serupa dengan orang yang percaya pada semua Nabi tetapi menolak Nubuwwah Muhammad Sallallahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam berkata: “Imam setelah aku adalah duabelas. Yang pertama adalah Amir Al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Talib dan yang terakhir adalah Qa’im Mahdi. Ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada saya, dan penentangan kepada mereka adalah penentangan kepada saya. Seperti itulah, siapapun yang menolak salah satu dari mereka telah menolak aku.”

Siapapun yang secara salah mengklaim Imamah, adalah seorang penindas terkutuk. Siapapun yang menempatkan Imamah pada seseorang selain pada tempatnya yang syah adalah seorang penindas terkutuk. Nabi sallallahu ‘alayhi wasallam berkata: “Siapapun yang menyangkal ‘Ali dan Imamahnya setelah aku, telah menolak Nubuwwah-ku, dan siapapun menyangkal aku perihal Nubuwwah-ku telah menolak Allah Tuhanan-Nya.” Imam Ja‘far as-Sadiq berkata: “Siapapun meragukan kufr dari musuh kami menjadikan dirinya seorang kafir.” (3).

Muridnya Shaykh Mufid  (meninggal 413 AH) menulis:

Ada konsensus di antara SDI bahwa siapapun menyangkal Imamah seseorang Imam, dan menyangkal kewajiban ketaatan kepada mereka yang Allah telah putuskan, maka orang seperti itu adalah seorang kafir, sesat, dan bahwa ia layak menerima siksaan kekal di Neraka. (4)

Ulama yang produktif Abu Ja‘far at-Tusi, yang dijulukiShaykh at-Ta’ifah, (meninggal 460 AH), pengarang dua di antara empat koleksi hadith kanonik, telah mengatakan berikut:

Menolak Imamah adalah kufr, seperti halnya menolak Nubuwwah adalah kufr. (5)

Mujaddid Syi’ah pada abad ke-8 Hijrah, Ibn Mutahhar al-Hilli (meninggal 726 AH) menyatakan perasaan serupa dalam terminologi berikut:

Imamah adalah suatu rahmat universal  (lutf ‘amm) sedangkan Nubuwwah adalah suatu rahmat khusus (lutf khass), karena, adalah memungkinkan bahwa suatu periode waktu tertentu dapat kosong dari Nabi yang hidup, sementara hal yang sama tidak benar bagi Imam. Menolak rahmat yang universal adalah lebih buruk dibanding menolak rahmat yang khusus. (6)

Inilah pendapat yang dipegang oleh empat dari sarjana klasik yang paling terkemuka SDI, dan jika dilihat dari sudut konsistensi, ini merupakan suatu posisi yang tentu saja dapat dipuji. Belum lagi, jika seseorang bertanya kepada  orang SDI hari ini (terutama yang baru saja pindah paham kepada SDI), baik mereka percaya bahwa Sunni adalah muslim atau tidak, mereka akan menjawab dengan terkejut, dan bahkan mungkin nampak sedih pada pertanyaan seperti itu. Berkaitan dengan orang yang baru saja pindah paham kepada SDI, kejadian ini adalah yang diharapkan, karena demi kepentingan rencana propaganda tertentu bahwa fakta tertentu dijaga kerahasiaannya bagi orang baru.

Bagaimanapun mereka yang lebih banyak mengetahui tentang alasan-alasan teknis paham SDI akan mengetahui bahwa, dalam pandangan SDI ada suatu perbedaan antara seorang Muslim dan seorang Mu’min. Mereka semua yang menyatakan Islam pada lahirnya adalah muslim: Sunni, Zaydi, Mu‘tazili, dan semua sekte lainnya. Seorang Mu’min, bagaimanapun, hanyalah ia yang percaya pada Duabelas Imam tersebut. Dengan tipuan yang pandai inilah para fuqaha Syi’ah tersebut membunuh beberapa burung dengan satu lemparan batu. Dengan diterimanya semua sekte lainnya sebagai muslim, mereka melindungi diri mereka terhadap keganjilan yang bisa mengeluarkan mereka dari kelompok Islam yang penganutnya di atas 90%, dan menjadi sama dengan orang-orang yang membawa panji Islam kepada seluruh pelosok dunia. Pada saat yang sama mereka menghindari pertentangan Sunni dengan orang lain, yang memudahkan menarik dirinya dalam kelompok Islam. Pada sisi lain, dengan ukuran pembeda yang sulit dipisahkan antara Muslim dari Mu’min, mereka secara efektif mengucilkan lawan-lawan mereka. Muslim adalah mereka yang kepadanya hukum Islam berlaku di dunia ini. Maka adalah diizinkan untuk mengawini sanak keluarga dengan mereka, untuk sholat di belakang mereka, untuk makan apa yang mereka sembelih dll., sedangkan Mu’min adalah mereka yang kepadanya keselamatan di alam akhirat khusus bagi mereka, dan itu tergantung pada kepercayaannya pada Duabelas Imam. Pembedaan antara Muslim dan Mu’min tersebur dapat ditemukan sederet literatur Syi’ah klasik. Faqih abad ke-7, Yahya ibn Sa‘id al-Hilli  (meninggal 690 AH), sebagai contoh, menulis di dalam pedoman fiqhnya, al-Jami‘ lish-Shara’i‘:

Adalah benar bagi seorang muslim untuk menjadikan suatu anugrah (waqf) atas muslim. Muslim adalah mereka yang mengucapkan dua shahadah, dan anak-anak mereka. Tetapi jika seseorang menjadikan suatu waqf atas Mu’minin, maka akan menjadi eksklusif bagi Imamiyyah yang percaya pada Imamah Duabelas Imam. (7)

Delapan abad kemudian, pandangan yang sama persis dikemukakan oleh Ayatullah Khomeini. Di dalam pedoman fiqh miliknya, Tahrir al-Wasilah, ia menyatakan:

Jika seseorang menjadikan suatu waqf atas muslim, hal ini bagi mereka semua yang mengakui dua shahadah… Jika seorang Imami menjadikan suatu waqf atas Mu’minin, hal ini terbatas bagi Ithna ‘Ashariyyah. (8)

Beberapa di antara pembicara paham SDI zaman dahulu, seperti Kashif al-Ghita, sudah menyadari hal itu, bahkan tipuan ini tidaklah cukup halus. Oleh karena itu Ia memikirkan istilah yang lain. Ia berbicara tentang Mu’min dalam pengertian khusus, dan tentang Mu’min dalam pengertian umum. Siapapun yang percaya pada Imamah dihormati sebagai Mu’min dalam pengertian khusus, sedangkan mereka yang tidak percaya dihormati sebagai Mu’min dalam pengertian umum, sebagai hasilnya semua hukum Islam yang sementara dapat digunakan bagi dia. Hasil dari perbedaan ini, ia berkata, akan menjadi nyata pada Hari Penghakiman, dalam hal derajat dekatnya dengan Tuhan dan penghormatannya yang akan dianugerahkan kepada yang percaya pada Imamah. (9).

Bagi kita, ini mengungkapkan lebih dari apa yang pengarang maksudkan. Hal itu mengungkapkan kepada kita bahwa ketika Syi’ah berkata mereka menghormati Sunni sebagai muslim, hal itu dalam kaitannya dengan berbagai hal yang duniawi. Dalam hal keakheratan, berbagai hal  setelah hari kiamat, Sunni yang tidak percaya pada Imamah Duabelas Imam adalah seperti halnya Yahudi, Kristen, Budha, Hindu atau penolak lainnya terhadap Nubuwwah Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam. Satu-satunya alasan untuk mengatakan bahwa Sunni itu muslim adalah demi kelayakan dan kenyamanan. Tanpa menyatakan pendapat seperti itu, Syi’ah akan mundur ke dalam keterasingan dan menuju pemboikotan dari pergaulan Dunia Islam lainnya. Alasan sperti ini diberikan olehSayyid ‘Abdullah Shubbar (meninggal 1232 AH) dalam komentarnya terhadap az-Ziyarat al-Jami‘ah, do‘a yang menyeluruh yang dibaca di kuburan para Imam. Pada suatu titik ziyarah membaca:

Siapapun yang menyangkal engkau adalah seorang kafir,

ia berkomentar mengenai hal itu, sambil berkata:

Ada banyak kisah yang menunjukkan bahwa lawan-lawan adalah kafir. Mendokumentasikan mereka semua akan memerlukan sebuah buku terpisah. Mendamaikan kisah seperti ini dengan yang dikenal mengenai Imam, yaitu bahwa mereka biasa hidup, makan dan bersosialisasi dengan mereka, mendorong ke arah kesimpulan bahwa mereka (lawan-lawan) adalah kafir, dan bahwa mereka akan tinggal di Neraka untuk selamanya, tetapi di dunia ini hukum Islam diberlakukan bagi mereka sebagai sikap kemurahan hati dan kebaikan dari golongan agama yang sebenarnya (SDI), karena mustahil untuk menghindari mereka. (10)

Sifat dasar jabatan Imam.

Pada titik ini akan mencukupi untuk mengatakan bahwa SDI memberikan kepada Imam mereka semua pemenuhan dan kesempurnaan para Nabi, dan bahkan lebih. Mustahil mendokumentasikan di sini semua kisah yang menyetujui status Imam yang seperti itu, tetapi sudah mencukupi sebagai informasi dengan hanya mengutip bab yang mana hal itu telah didokumentasikan di dalam sebuah sumber yang dijelaskan sebagai “encyclopedia yang dijamin kebenarannya tentang pengetahuan para Imam”: Bihar al-Anwar oleh Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi(meninggal 1111 AH) yang secara luas dianggap sebagai ulama Syi’ah yang paling berpengaruh dan yang terbesar pada zaman Safawid. Sepanjang hidupnya ia menduduki kantor Shaykh al-Islam di Isfahan, ibukota Safawid, dan bahkan hingga hari gini hasil kerjanya sangat diperlukan bagi alim ulama Syi’ah danjuga sebagai sandaran masyarakat. Kita kutip di sini nama bab, dan juga jumlah kisahnya yang ia dokumentasikan pada setiap bab:

Imam memiliki pengetahuan lebih banyak dibanding para Nabi, terdapat 13 kisah. (11).Imam lebih berilmu daripada para Nabi dan seluruh makhluq. Perjanjian  dari para Imam  telah diambil dari mereka (para Nabi), Mala’ikah dan seluruh makhluq. Para nabi terkemuka yang disebut ulul-‘Azm (Nuh, Ibrahim, Musa dan ‘Isa) mencapai status ulul-‘Azm karena mencintai para Imam, terdapat 88 kisah. (12).Do‘a para Nabi dijawab dikarenakan mereka melibatkan wasilah Imam, terdapat 16 kisah. (13).Imam dapat menghidupkan kembali orang mati. Mereka dapat menyembuhkan lepra dan buta. Mereka memiliki semua keajaiban para Nabi, terdapat 4 kisah. (14).Tidak ada pengetahuan apapun mengenai Surga, Bumi, Jannah dan Jahannam yang tersembunyi bagi mereka. Kerajaan langit dan bumi diperlihatkan kepada mereka. Mereka mengetahui semua yang terjadi dan yang akan terjadi hingga Hari Kebangkitan, terdapat 22 kisah. (15).Imam mengetahui kebenaran tentang kemunafikan atau iman seseorang. Mereka memiliki sebuah buku yang berisi nama para penghuni Jannah, nama para pendukung mereka dan musuh-musuh mereka, terdapat 40 kisah. (16).

Judul dari bab ini benar-benar menciptakan kesan yang gamblang mengenai materi yang diceriterakan yang kepadanya Syi’ah mendasarkan iman mereka.

Jabatan Imamah dengan begitu dapat dilihat lebih dari sekedar kepemimpinan politis Ummah. Para Imam lebih dari sekedar kepala-kepala negara dengan suatu hak Ilahiyah untuk memerintah.Mereka adalah tempat penyimpanan semua cabang pengetahuan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh para Nabi.Keberadaan dunia tergantung pada kehadiran mereka.Mereka adalah para perantara yang melalui perantaraan mereka do’a dikabulkan bahkan para Nabi-pun bergantung kepada mereka.Jabatan mereka adalah seseorang yang mengkombinasikan jabatan politis, religius, ilmiah, supremasi langit dan metafisis di atas seluruh makhluq.

Dengan uraian di atas seseorang dapat memahami alasan dari statemen al-Khomeini di dalam buku al-Hukumat al-Islamiyyah, yang kepadanya keseluruhan filosofi revolusinya disandarkan:

Adalah dari ajaran yang tak dapat dipungkiri dari iman kami bahwa para Imam kami memiliki suatu status dari Allah yang baik Malaikat ataupun Nabi tidak dapat menginginkannya. (17)

Setelah pengenalan terhadap konsep Imamah ini, sifat dasar penunjukan Imam dan sifat dasar jabatan mereka, kita mengajukan pertanyaan: apakah kepercayaan yang seperti ini merupakan suatu konsep yang dibenarkan dan ditegakkan oleh al-Qur’an?

Yang pasti suatu kepercayaan yang sangat penting, suatu bagian dari iman yang menjangkau konsekwensi yang luas, yang bahkan dapat menggantikan kepercayaan kepada para Nabi, harus berakar di dalam al-Qur’an, Kitab yang diwahyukan oleh Allah.

.. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi muslimin. an-Nahl:89

Dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan inilah maka artikel ini ditulis.

Lanjutan : Tulisan Bagian 2             http://www.fahmisalim.com/2015/11/konsep-imamah-syiah-problematik-bagian-1.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook